Di Indonesia pengenalan koperasi memang dilakukan oleh
dorongan pemerintah, bahkan sejak pemerintahan penjajahan Belanda telah mulai
diperkenalkan. Gerakan koperasi sendiri mendeklarasikan sebagai suatu gerakan
sudah dimulai sejak tanggal 12 Juli 1947 melalui Kongres Koperasi di
Tasikmalaya. Pengalaman di tanah air kita lebih unik karena koperasi yang
pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian
setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi
dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian melahirkan
berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi. Paling tidak dengan
dasar yang kuat tersebut sejarah perkembangan koperasi di Indonesia telah mencatat tiga pola
pengembangan koperasi. Secara khusus pemerintah memerankan fungsi “regulatory”
dan “development” secara sekaligus (Shankar 2002).
Ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola
penitipan kepada program yaitu :
1.
Program pembangunan secara sektoral seperti koperasi
pertanian, koperasi desa, KUD.
2.
Lembaga-lembaga
pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya.
3.
Perusahaan baik milik negara maupun swasta dalam
koperasi karyawan. Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang
dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya.
Selama ini “koperasi” dikembangkan dengan dukungan
pemerintah dengan basis sektor-sektor primer dan distribusi yang memberikan
lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia .
Sebagai contoh sebagian besar KUD sebagai koperasi program di sektor pertanian
didukung dengan program pembangunan untuk membangun KUD.
Disisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan
pertanian untuk swasembada beras seperti yang selama PJP I, menjadi ciri yang
menonjol dalam politik pembangunan koperasi.
Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan program yang kurang
berhasil ditangani langsung oleh pemerintah bahkan bank pemerintah, seperti
penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan beras pemerintah, TRI dan
lain-lain sampai pada penciptaan monopoli baru (cengkeh). Sehingga nasib
koperasi harus memikul beban kegagalan program, sementara koperasi yang
berswadaya praktis tersisihkan dari perhatian berbagai kalangan termasuk para
peneliti dan media masa. Dalam pandangan pengamatan internasional Indonesia mengikuti lazimnya pemerintah di Asia yang melibatkan koperasi secara terbatas seperti
disektor pertanian (Sharma, 1992).
Di negara berkembang, termasuk Indonesia , transparansi struktural
tidak berjalan seperti yang dialami oleh negara industri di Barat, upah buruh
di pedesaan secara rill telah naik ketika pengangguran meluas sehingga terjadi
Lompatan ke sektor jasa terutama sektor usaha mikro dan informal (Oshima,
1982). Oleh karena itu kita memiliki kelompok penyedia jasa terutama disektor
perdagangan seperti warung dan pedagang pasar yang jumlahnya mencapai lebih
dari 6 juta unit dan setiap hari memerlukan barang dagangan. Potensi sektor ini
cukup besar, tetapi belum ada referensi dari pengalaman dunia. Koperasi yang
berhasil di bidang ritel di dunia adalah sistem pengadaan dan distribusi barang
terutama di negara-negara berkembang “user” atau anggotanya adalah para
pedagang kecil sehingga model ini harus dikembangkan sendiri oleh negara
berkembang.
Koperasi selain sebagai organisasi ekonomi juga merupakan
organisasi pendidikan dan pada awalnya koperasi maju ditopang oleh tingkat
pendidikan anggota yang memudahkan lahirnya kesadaran dan tanggung jawab
bersama dalam sistem demokrasi dan tumbuhnya kontrol sosial yang menjadi syarat
berlangsungnya pengawasan oleh anggota koperasi. Oleh karena itu kemajuan koperasi
juga didasari oleh tingkat perkembangan pendidikan dari masyarakat dimana
diperlukan koperasi. Pada saat ini masalah pendidikan bukan lagi hambatan
karena rata-rata pendidikan penduduk dimana telah meningkat. Bahkan teknologi
informasi telah turut mendidik masyarakat, meskipun juga ada dampak negatifnya.
Secara historis pengembangan koperasi di Indonesia yang telah digerakan melalui
dukungan kuat program pemerintah yang telah
dijalankan dalam waktu lama, dan tidak
mudah ke luar dari kungkungan pengalaman tersebut. Jika semula ketergantungan
terhadap captive market program menjadi sumber pertumbuhan, maka
pergeseran ke arah peran swasta menjadi tantangan baru
bagi lahirnya pesaing-pesaing usaha terutama KUD. Meskipun
KUD harus berjuang untuk menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi, namun
sumbangan terbesar KUD adalah keberhasilan peningkatan produksi pertanian
terutama pangan (Anne Both, 1990), disamping sumbangan dalam melahirkan kader
wirausaha karena telah menikmati latihan dengan mengurus dan mengelola KUD
(Revolusi penggilingan kecil dan wirausahawan pribumi di desa).
Jika melihat posisi koperasi pada hari ini sebenarnya masih
cukup besar harapan kita kepada koperasi. Memasuki tahun 2000 posisi koperasi Indonesia
pada dasarnya justru didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai antara
55-60 persen dari keseluruhan aset koperasi. Sementara itu dilihat dari
populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari
populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Pada
akhir-akhir ini posisi koperasi dalam pasar perkreditan mikro menempati tempat
kedua setelah BRI-unit desa sebesar 46% dari KSP/USP dengan pangsa sekitar 31%.
Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup gencar dan menimbulkan
distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian
dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya masih besar elemen
untuk tumbuhnya kemandirian koperasi.
Struktur organisasi koperasi Indonesia mirip organisasi
pemerintah/lembaga kemasyarakatan yang terstruktur dari primer sampai tingkat
nasional. Hal ini telah menunjukkan kurang efektif nya peran organisasi
sekunder dalam membantu koperasi primer. Tidak jarang menjadi instrumen
eksploitasi sumberdaya dari daerah pengumpulan. Fenomena ini dimasa datang
harus diubah karena adanya perubahan orientasi bisnis yang berkembang dengan
globalisasi. Untuk mengubah arah ini hanya mampu dilakukan bila penataan mulai
diletakkan pada daerah otonom.
Koperasi Dalam Era
Otonomi Daerah
Implementasi
undang-undang otonomi daerah, akan memberikan
dampak positif bagi koperasi dalam hal alokasi sumber daya alam dan pelayanan pembinaan lainnya. Namun
koperasi akan semakin menghadapi masalah yang lebih intensif dengan
pemerintah daerah dalam bentuk penempatan lokasi investasi dan skala kegiatan
koperasi. Karena azas efisiensi akan mendesak koperasi
untuk membangun jaringan yang luas dan mungkin
melampaui batas daerah otonom. Peranan advokasi oleh gerakan koperasi untuk memberikan
orientasi kepada pemerintah di daerah semakin penting. Dengan demikian peranan
pemerintah di tingkat propinsi yang diserahi tugas untuk pengembangan koperasi harus mampu menjalankan
fungsi intermediasi semacam ini. Mungkin juga dalam hal lain yang berkaitan
dengan pemanfaatan infrastruktur daerah yang semula menjadi kewenangan pusat.
Peranan pengembangan sistem lembaga keuangan koperasi di
tingkat Kabupaten / Kota
sebagai daerah otonom menjadi sangat penting. Lembaga keuangan koperasi yang
kokoh di daerah otonom akan dapat menjangkau lapisan bawah dari ekonomi rakyat.
Disamping itu juga akan mampu berperan menahan arus keluar sumber keuangan
daerah. Berbagai studi menunjukan bahwa lembaga keuangan yang berbasis daerah
akan lebih mampu menahan arus kapital keluar, sementara sistem perbankan yang
sentralistik mendorong pengawasan modal dari secara tidak sehat.
Dukungan yang
diperlukan bagi koperasi untuk menghadapi berbagai rasionalisasi adalah
keberadaan lembaga jaminan kredit bagi koperasi dan usaha kecil di daerah. Dengan demikian
kehadiran lembaga jaminan akan menjadi elemen terpenting untuk percepatan
perkembangan koperasi di daerah. Lembaga
jaminan kredit yang dapat dikembangkan Pemerintah Daerah dalam bentuk
patungan dengan stockholder yang luas. Hal ini akan dapat mendesentralisasi
pengembangan ekonomi rakyat dan dalam jangka panjang akan menumbuhkan
kemandirian daerah untuk mengarahkan aliran uang di masing-masing daerah. Dalam
jangka menengah koperasi juga perlu memikirkan asuransi bagi para penabung.
Potensi koperasi pada saat ini sudah mampu untuk memulai
gerakan koperasi yang otonom, namun fokus
bisnis koperasi harus diarahkan pada ciri universalitas kebutuhan yang tinggi
seperti jasa keuangan, pelayanan infrastruktur serta
pembelian bersama. Dengan otonomi selain peluang untuk
memanfaatkan potensi setempat juga terdapat
potensi benturan yang harus diselesaikan di tingkat daerah. Dalam hal ini
konsolidasi potensi keuangan, pengembangan
jaringan informasi serta pengembangan pusat
inovasi dan teknologi merupakan kebutuhan
pendukung untuk kuatnya kehadiran koperasi. Pemerintah di daerah dapat mendorong
pengembangan lembaga penjamin kredit di daerah.
Pemusatan koperasi di bidang jasa keuangan sangat tepat untuk
dilakukan pada tingkat kabupaten/kota atau “kabupaten dan kota ” agar menjaga arus dana menjadi lebih
seimbang dan memperhatikan kepentingan daerah (masyarakat setempat). Fungsi
pusat koperasi jasa keuangan ini selain menjaga likuiditas juga dapat memainkan
peran pengawasan dan perbaikan manajemen hingga pengembangan sistem asuransi
tabungan yang dapat diintegrasikan dalam sistem asuransi secara nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar