Rabu, 22 Januari 2014

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)

Sesuai dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunbakan untuk kemakmuran rakyat. Tanah sebagai bagian dari bumi merupakan karunia tuhan, disamping itu bangunan juga memebri manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, wajar menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada Negara melalui pembayaran pajak (BPHTB).

I.                  Dasar Hukum
  1. UU No. 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
  2. KMK Nomor : 630/KMK.04/1997 Tentang Badan atau Perwakilan Organisasi Internasional Yang Tidak Dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
II.   Istilah Penting dalam UU BPHTB
( Pasal 1 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No. 20 Tahun 2000)
  1. Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.
  2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
  3. Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
  4. Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
  5. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.
  6. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.  
  7. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar adalah surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah pajak yang telah dibayar lebih besar daripada pajak yang seharusnya terutang.
  8. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil adalah surat ketetapan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah pajak yang dibayar.
  9. Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dan sekaligus untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
  10. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
  11. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil yang diajukan oleh Wajib Pajak.
  12. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
III.             Objek Pajak
( Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. Pemindahan Hak karena :
  1. Jual beli
  2. Tukar Menukar
  3. Hibah
  4. Hibah Wasiat, adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
  5. Waris
  6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, adalah pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut.
  7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, adalah pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama.penunjukan pembeli dalam lelang;
  8. Penunjukan pembeli dalam lelang, adalah penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang.
  9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut.
  10. Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung.
  11. Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut.
  12. Pemekaran usaha adalah pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama.
  13. Hadiah adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.
b. Pemberian hak baru karena :
  1. Kelanjutan pelepasan hak; Yang dimaksud dengan pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak adalah pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
  2. Diluar pelepasan hak. Yang dimaksud dengan pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
IV.           Tidak Termasuk Objek Pajak
Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh:
  • ž  Perwakilan diplomatik , konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal balik.                     
  • Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum .
  • ž  Badan perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan menteri
  • ž  Orang pribadi atau badan konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama. 

V.               Hak Atas Tanah
( Pasal 2 ayat (3) UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang dimaksud hak atas tanah adalah :
  1. Hak milik, adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
  2. Hak guna usaha, adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku.
  3. Hak guna bangunan, adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang  Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
  4. Hak pakai, adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang  dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  5. Hak milik atas satuan rumah, adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
  6. Hak pengelolaan, adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
VI.           Tarif Pajak
( Pasal 5 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
 Tarif pajak yang dikenakan atas objek BPHTB  adalah sebesar 5 % (lima persen).

VII.        Dasar Pengenaan
( Pasal 6 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
·         Yang menjadi Dasar Pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu dalam hal :
  1. jual beli adalah harga transaksi;
  2. tukar-menukar adalah nilai pasar;
  3. hibah adalah nilai pasar;
  4. hibah wasiat adalah nilai pasar;
  5. waris adalah nilai pasar;
  6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
  7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
  8. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
  9. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
  10. pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar;
  11. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
  12. peleburan usaha adalah nilai pasar;
  13. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
  14. hadiah adalah nilai pasar;
  15. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang.
·         Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sampai dengan n tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
·         Apabila Nilai Objek Pajak Bumi dan Bangunan belum ditetapkan, besarnya nilai objek pajak bumi dan bangunan ditetapkan oleh menteri.

VIII.    Nilai Pasar
( Pasal 6 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
 Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan.

IX.           Nilai Perolehan Objek Pajak Yang Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
( Pasal 7 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 jo. PP No.113 Tahun 2000 jo. KMK-516/KMK.04/2000
sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-33/PMK.03/2008)
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Yang dimaksud dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional adalah penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk masing-masing Kabupaten/Kota.

X.               Tata Cara untuk menentukan besarnya NPOPTKP
( Pasal 7 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 jo. PP No.113 Tahun 2000 jo. KMK-516/KMK.04/2000
 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-33/PMK.03/2008)
Tata Cara untuk menentukan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak adalah sebagai berikut :
  1. Besarnya Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak ditetapkan untuk setiap Kabupaten/Kota.
  2. Besarnya Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak untuk setiap Kabupaten/Kota dapat diusulkan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahun pajak dimulai.
  3. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan menetapkan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dengan memperhatikan usulan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam point 2.
  4. Dalam hal Pemerintah Daerah tidak mengajukan usulan sebagaimana dimaksud dalam point 2, besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian regional.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan, menetapkan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak secara regional dengan ketentuan:  
  1. untuk perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);       
  2. untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 03/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Bersubsidi, dan Rumah Susun Sederhana sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Sarusun Bersubsidi, ditetapkan sebesar Rp 49.000.000,00 (empat puluh sembilan juta rupiah);       
  3. untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku usaha kecil atau mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah untuk Memperkuat Penjaminan Kredit bagi Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);       
  4. untuk perolehan hak selain perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, ditetapkan paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah);       
  5. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf b, maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf b ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan pada huruf d;       
  6. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf c, maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf c ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan pada huruf d."    
XI.           Penghitungan Pajak
( Pasal 8 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Secara umum besarnya BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) yang diperoleh dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus dibawah ini:
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)          
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP)                       

Besarnya BPHTB terutang = 5 % X NPOPKP

   XXXXX     
 XXXXX (-)
XXXXX     
     
 XXXXX     

XII.          PEMBAYARAN BPHTB TERUTANG
ž  Saat terutang dan pelunasan BPHTB untuk: 
 a. Jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, yaitu tanggal dibuat dan ditandatanginya akta pemindahan hak di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris;
 b. Tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
 c. Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
d. Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
e. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
f. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
g. Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, yaitu tanggal ditandatanganinya Risalah Lelang oleh Kepala Kantor Lelang Negara atau kantor lelang lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memuat antara lain nama pemenang lelang.
h. Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap; 
i. Hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
j. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
k. Pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak; 
 l. Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda tanganinya akta;
m. Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta;
n. Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta;
o. Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.

XIII.    Tempat BPHTB Terutang
            Tempat BPHTB terutang adalah :
1.      wilayah Kabupaten,
2.      Kota, atau
3.      Propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan.      


Sumber :http://www.tarif.depkeu.go.id/Bidang/?bid=pajak&cat=bphtb

Rabu, 15 Januari 2014

Pelanggaran Hukum Diawali dengan Pelanggaran Etika

PELANGGARAN HUKUM DIAWALI DENGAN PELANGGARAN ETIKA

Diberbagai profesi apapun pasti mempunyai etika terhadap bidang pekerjaannya masing-masing  yang lebih dikenal dengan etika profesi aau kode etik profesi. Salah satu fungsi dari kode etik profesi adalah membantu para profesional dalam menentukan apa yang harus mereka perbuat dalam mengahadapi dilema pekerjaan mereka dan menjaga reputasi atau nama baik mereka. Dengan adanya kode etik profesi maka sebagai profesional hendaknya mentaati aturan-aturan yang terdapat pada kode etik profesi masing-masing.
Setiap aturan dibuat tentunya adalah untuk ditaati. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa pelanggaran terhadap suatu aturan masih kerap terjadi, tidak terkecuali pelanggaran terhadap kode etik profesi.  Adapun sanksi dari pelanggaran kode etik profesi adalah bermacam-macam dari mulai berupa peringatan tertulis sampai dengan sanksi hukum pidana ataupun perdata. Oleh sebab itu adanya pelanggaran hukum seringkali diawali dengan adanya pelanggaran etika.
Pada kasus korupsi yang terjadi di Indonesia  tahun 2013 hampir semuanya diawali dengan adanya pelanggaran etika. Contoh pada kasus dugaan suap sengketa Pemilihan Kepala Daerah (pilkada), yang melibatkan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Muhtar. Akil diduga menerima suap pada pengurusan sengketa Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan pengurusan sengketa Pilkada Lebak Banten. Kasus Akil tersebut merupakan puncak kasus korupsi di Indonesia karena dianggap sudah mencederai kepercayaan publik kepada lembaga peradilan. MK merupakan lembaga peradilan tertinggi  di Indonesia. Jika pimpinan tertingginya saja sudah terlibat kasus korupsi, bagaimana masyarakat bisa menaruh kepercayaan kepada lembaga tersebut.
Selain kasus korupsi yang melibatkan ketua MK, ada lagi kasus yang memprihatinkan juga yaitu kasus korupsi yang melibatkan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah. Orang nomor satu di Banten tersebut diduga menerima fee dari sejumlah rekanan pengadaan alat kesehatan. Ini yang kemudian bisa menjadi pintu masuk bagi KPK mengusut dugaan pencucian uang yang dilakukan Ratu Atut. Kasus ini masih sedang dalam proses penyelidikan oleh pihak KPK dan Ratu Atut sudah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka.
Merajalelanya korupsi lantaran perilaku 'menilep' uang negara sudah membudaya di Indonesia. Bahkan cenderung sistemik. Kasus korupsi sudah seolah menjadi warisan budaya. Indonesia butuh banyak waktu membenahi persoalan korupsi yang sudah menjamur itu. Bukan hal yang mudah untuk memberantasnya. Landasan keimanan yang tertanam dalam diri masing-masing mungkin itu menjadi sesuatu yang paling mendasar untuk tidak melakukan tindakan pelanggaran hukum seperti korupsi.