Saat ini profesi
Akuntan Publik mempunyai peranan yang besar dalam mendukung perekonomian
nasional yang sehat dan efisien, serta meningkatkan transparasi dan mutu informasi
dalam bidang keuangan. Secara nyata, peran Akuntan Publik terutama dalam
meningkatkan kualitas dan kredibilitas informasi keuangan atau laporan keuangan
suatu entitas. Dalam hal ini Akuntan Publik mengemban kepercayaan masyarakat
untuk memberikan opini atas laporan keuangan suatu entitas. Dengan demikian,
tanggung jawab Akuntan Publik terletak pada opini atau pendapatnya atas laporan
keuangan suatu entitas, sedangkan penyajian laporan atau informasi keuangan
suatu entitas, sedangkan penyajian laporan atau informasi keuangannya merupakan
tanggung jawab manajemen.
Profesi Akuntan Publik merupakan
salah satu profesi yang turut mendukung dunia usaha. Bahkan dalam era
globalisasi perdagangan barang dan jasa, akan terjadi peningkatan kebutuhan
akan jasa Akuntan Publik terutama kebutuhan atas kualitas informasi keuangan
yang digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Dengan demikian, Akuntan Publik dituntut untuk senantiasa meningkatkan
kompetensi dan profesionalisme, sehingga dapat memenuhi kebutuhan pengguna jasa
dan mengemban kepercayaan publik dengn baik. Meskipun demikian, masih
dimungkinkan terjadinya kegagalan dalam pemberian jasa Akuntan Publik dimaksud.
Untuk melindungi kepentingan
masyarakat dan juga Akuntan Publik itu sendiri dalam pemberian jasa, maka
diperlukan adanya undang-undang yang mengatur profesi Akuntan Publik,
Undang-Undang yang ada lebih dahulu yaitu Undang-Undang Nomor. 34 Tahun 1954
tentang Pemakaian Gelar Akuntan. Pengaturan mengenai profesi Akuntan Publik
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1954 dinilai sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan yang ada pada saat ini dan tidak mengatur
hal-hal yang mendasar bagi profesi Akuntan Publik.
Selama 14 Bulan Pemerintah
bersama-sama dengan dewan perwakilan rakyat telah berupaya merumuskan materi
muatan Rancangan Undang-Undang tentang Akuntan Publik, sebagaimana telah
ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik yang
sudah ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 3 Mei 2011.
Keistimewaan dari Undang-Undang Akuntan Publik ini, yaitu mengatur mengenai “
Jasa Asuransi” yang merupakan hak ekslusif bagi Akuntan Publik, yaitu jasa
Akuntan Publik yang bertujuan untuk memberikan keyakinan bagi pengguna atas
hasil evaluasi atau pengukuran informasi keuangan dan non Keuangan berdasarkan
suatu kriteria. Selain mengatur mengenai profesi Akuntan Publik, Undang-Undang
ini juga mengatur mengenai Kantor Akuntan Publik ( KAP ) yang merupakan wadah
bagi Akuntan Publik dan bentuk usaha KAP yang sesuai dengan profesi Akuntan publik,
yaitu independensi dan tanggung jawab professional terhadap hasil pekerjaannya.
Menghadapi MEA ( Masyarakat Ekonomi Asean )
dan Pasar bebas AFTA pada tahun 2015 mendatang, para akuntan publik di
indonesia secara tidak langsung harus mengikuti standar laporan keuangan IFRS. Apalagi Undang-Undang No.5 Tentang Akuntan Publik
memang sudah nyata-nyata memberikan lampu hijau bagi akuntan asing untuk
berkiprah di kancah nasional. Secara
tidak langsung, kondisi seperti ini bisa membuat akuntan Indonesia kehilangan
pangsa pasar karena perusahaan-perusahaan di Indonesia tentunya akan lebih
memilih untuk merekrut akuntan asing yg sudah lebih dulu paham tentang standard
IFRS.
International Accounting Standards, yang lebih
dikenal sebagai International Financial Reporting Standards (IFRS), merupakan
standar tunggal pelaporan akuntansi yang memberikan penekanan pada penilaian
(revaluation) profesional dengan disclosures yang jelas dan transparan mengenai
substansi ekonomis transaksi, penjelasan hingga mencapai kesimpulan tertentu.
Standar ini muncul akibat tuntutan globalisasi yang mengharuskan para pelaku
bisnis di suatu Negara ikut serta dalam bisnis lintas negara. Untuk itu
diperlukan suatu standar internasional yang berlaku sama di semua Negara untuk
memudahkan proses rekonsiliasi bisnis. Perbedaan utama standar internasional
ini dengan standar yang berlaku di Indonesia terletak pada penerapan
revaluation model, yaitu kemungkinkan penilaian aktiva menggunakan nilai wajar,
sehingga laporan keuangan disajikan dengan basis ‘true and fair‘ (IFRS
framework paragraph 46).
Indonesia yang tadinya berkiblat pada standar
akuntansi keluaran FASB (Amerika), mau tidak mau harus beralih dan ikut serta
menerapkan IFRS karena tuntutan bisnis global. Mengadopsi IFRS berarti
menggunakan bahasa pelaporan keuangan global, yang akan membuat perusahaan bisa
dimengerti oleh pasar dunia (global market). Firma akuntansi big four
mengatakan bahwa banyak klien mereka yang telah mengadopsi IFRS mengalami
kemajuan yang signifikan saat memasuki pasar modal global. Dengan kesiapan
adopsi IFRS sebagai standar akuntansi global yang tunggal, perusahaan Indonesia
akan siap dan mampu untuk bertransaksi, termasuk merger dan akuisisi
lintasnegara.
Tekat Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk mengadopsi
International Financial Reporting Standard (IFRS) pada tahun 2012 merupakan
tantangan yang besar bagi kalangan akuntansi Indonesia, baik bagi kalangan
akademisi maupun praktisi akuntansi. Banyak hal dalam IFRS yang akan diadopsi
berbeda dengan prinsip yang saat ini berlaku. Beberapa hal terbesar dari
perbedaan itu antara lain :
1.
Penggunaan Fair-value
Basis dalam penilaian aktiva, baik aktiva tetap, saham, obligasi dan lain-lain,
sementara sampai dengan saat ini penggunaan harga perolehan masih menjadi basic
mind akuntansi Indonesia. Sayangnya IFRS sendiri belum memiliki definisi dan
petunjuk yang jelas dan seragam tentang pengukuran berdasarkan nilai wajar ini.
2.
Jenis laporan keuangan
berdasarkan PSAK terdiri dari 4 elemen (Neraca, Rugi-Laba dan Perubahan
Ekuitas, Cashflow, dan Catatan atas Laporan keuangan). Dalam draft usulan IFRS
menjadi 6 elemen (Neraca, Rugi-Laba Komprehensif, Perubahan Ekuitas, Cashflow,
Catatan atas Laporan keuangan, dan Neraca Komparatif). Penyajian Neraca dalam
IFRS tidak lagi didasarkan pada susunan Aktiva, Kewajiban dan Ekuitas, tapi
dengan urutan Aktiva dan Kewajiban usaha, Investasi, Pendanaan, Perpajakan dan
Ekuitas. Laporan Cashflow tidak disajikan berdasarkan kegiatan Operasional,
Investasi dan Pendanaan, melainkan berdasarkan Cashflow Usaha (Operasional dan
investasi), Cashflow perpajakan dan Cashflow penghentian usaha.
3.
Perpajakan perusahaan,
terutama terkait pajak atas koreksi laba-rugi atas penerapan IFRS maupun atas
revaluasi aktiva berdasarkan fair-value basis.
Melihat kondisi di atas, tentunya jika adopsi IFRS hanya
dipandang sebagai suatu bentuk perubahan laporan maka akan terlalu sempit karena banyak hal dalam operasional perusahaan
akan sangat terpengaruh, tidak hanya dalam penyajian Laporan Keuangan saja. Hal
yang perlu dilakukan perubahan antara lain :
1.
Sistem teknologi informasi
akuntansi akan berubah dengan format penyajian Laporan yang berubah, basis
penilaian aktiva yang berubah menjadi Fair-value Basis yang tentunya akan
mempengaruhi pula sistem lain yang terkait seperti penyusutan, laba-rugi, dan
perpajakan.
2.
Basis penilaian aktiva
tetap berdasarkan nilai wajar akan menimbulkan masalah yang besar, karena
perusahaan harus menyediakan Apraisal untuk menilai aktiva tetap perusahaan
secara periodik. Disamping itu, penerapan basis penilaian ini juga akan
menunggu perubahan Peraturan Menteri Keuangan PMK No. 79/PMK.03/2008 yang
menyatakan bahwa penilaian kembali aktiva tetap dapat dilakukan apabila DJP
memberikan izin.
3.
Perpajakan perusahaan
harus melakukan evaluasi konsekuensi yang mungkin timbul sebagai akibat
penerapan IFRS.
4.
Sistem legal perusahaan
harus melakukan evaluasi konsekuensi yang timbul atas penerapan IFRS.
5.
Kemungkinan evaluasi
struktur organisasi perusahaan.
6.
Perlunya alokasi sumber
daya yang besar dari perusahaan, mulai persiapan sumber daya manusia, keuangan,
dan sistem perusahaan.
Referensi : http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/9055