Kamis, 03 Januari 2013

Resensi Novel “Supernova : Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh”



Judul      : Supernova; Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh
Penulis           : Dewi “Dee” Lestari Mangunsong
Penerbit         : Truedee Books
Terbit Tahun  : 2001 pada Cetakan V
Tebal Buku     : 231 halaman
Panjang buku  : 21 cm
Lebar buku     : 13,5 cm
Resensi
Buku  dengan tebal 231 halaman ini memang sangat menarik untuk dibaca oleh orang yang menggemari sains, karena buku ini memang didominasi oleh bahasa sains yang mudah dimengerti bagi penyuka sains. Tapi buku ini juga saya rasa sangat menarik bagi orang yang awam terhadap sains yang ingin menikmati karya sastra yang dinominasikan sebagai Indonesia’s Best Fiction Award 2000-2001 (Novel Fiksi Indonesia Terbaik 2000-2001) ini. Orang yang awam terhadap sains juga bisa menikmati novel ini karena di setiap halaman yang dihiasi istilah sains yang sulit, selalu dilengkapi oleh footnote (catatan kaki). Jadi untuk para penikmat novel jangan takut untuk mulai membaca karya sastra sains fiksi karena disitulah faktor menarik dan menantangnya.
Kendala yang mungkin dirasakan oleh para pembaca awam sains adalah banyaknya istilah-istilah sains yang sulit dimengerti dan yang memakan tempat karena penjelasan dari footnote-nya yang cukup panjang tersebut. Namun novel ini dinominasikan sebagai Novel Fiksi Indonesia Terbaik sebab memiliki keunikan bukan hanya karena bisa memasukan unsur sains yang sangat kental tapi juga dapat memadukan unsur keromantisan yang juga mewarnai novel ini dengan sangat baik. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya beberapa puisi puitis yang dapat disampaikan dengan apik melalui bahasa sains.
Penokohan yang dilakukan Dewi “Dee” Lestari pun kuat untuk sebuah novel fiksi. Sifat dari karakter-nya pun dapat terasa dengan jelas. Alur ceritanya pun tidak berbelit-belit dan tidak berbasa-basi sehingga pembaca pun disuguhi cerita yang jelas tujuan dan maksudnya.
Dikisahkan oleh Dee (Pangglan akrab bagi Dewi Lestari) ada dua pria yang mengalami penyimpangan perilaku seksual, mereka gay (homo) yang sudah menjalani kehidupan menyimpang mereka selama 10 tahun, Dhimas dan Ruben namanya. Mereka mengikat janji bahwa di tahun kesepuluh hubungan mereka. Mereka akan membuat roman sains yang romantis sekaligus puitis . Dikisahkan, Ruben termasuk geng anak beasiswa-orang-orang sinis, kuper-yang cuma cocok bersosialisasi dengan buku. Sementara Dhimas termasuk geng anak orang kaya, kalangan mahasiswa Indonesia berlebih harta .
Mereka menulis bahwa ada seorang pria yang dapat dikatakan sempurna;tampan, mapan, produktif, menarik, dan berjabatan tinggi. Tokoh tersebut bernama Ferre, dia begitu menarik sehingga diidolakan oleh kaum hawa. Tersebutlah seorang wartawati dari sebuah tabloid wanita bersuamikan Arwin mencoba mewawancarai Ferre. Rana nama wanita itu, entah karena pribadi keduanya yang sama-sama menarik keduanya pun saling tertarik dan menjalani hubungan terlarang antar seorang lajang dan seorang wanita bersuami atau biasa disebut selingkuh. Arwin, suami Rana, sama sekali tidak menaruh curiga pada sang istri, ia terlalu cinta pada Rana. Wanita bersuami yang mengalami ketidakpuasan dalam berrumah tangga ini pun mencoba mencari kepuasan lain dari Ferre dan diceritakan hubungan mereka begitu mesra.
Suatu waktu Rana dihadapkan pada kenyataan bahwa Ia harus memilih antara Ferre, pria yang menjanjikan kepuasan namun tidak memberikan rasa aman saat bersamanya atau Arwin, pria mapan yang membosankan namun dapat memberikan rasa aman saat bersama Rana. Saat Rana merasa yakin akan Ferre, ternyata Arwin datang dengan sebongkah harapan bahwa ia akan membahagiakan Rana kelak. Rana pun goyah dan memutuskan hubungannya dengan Ferre .
Ferre yang memang sedang dimabuk cinta Rana sedih setengah mati karena harapan yang sudah Ia bangun malah dilanda badai yang tak Ia duga akan Rana datangkan, sempat ia berfikir untuk bunuh diri. Namun seakan-akan ada seorang wanita, Diva, seorang wanita yang akan menyelamatkan Ferre dari keputusasaannya tentang hidup.
Diva dikatakan sebagai seorang wanita berwawasan sangat luas, cantik, kaya, mapan dan berpikiran maju. Ia memang seorang pelacur kelas kakap yang hanya menerima bayaran besar dalam bentuk dolar , dan tanpa seorang mucikari oleh karena itu ia ingin dikenal sebagai seorang wiraswasta (enterpreuneur) sejati. Pelanggannya pun hanya orang-orang berkantong tebal.
Diva ternyata adalah tetangga seberang rumah Ferre, setiap malam sebelum mereka tidur dari jendela masing-masing mereka mengucapkan selamat tidur dan sepercik kekaguman terhadap pribadi masing-masing.
Ferre pun berteman dekat dengan Diva dan berangsur-angsur pulih dari pengalaman pahitnya. Tokoh lain yang juga mewarnai cerita ini adalah Supernova, seorang cyber avatar (semacam penyelamat/pertapa yang hidup di dunia maya) yang berpikiran luas terhadap dunia dan menjadi tempat curhat (curahan hati) tokoh lain di novel ini. Selain Supernova pun ada seorang pria yang menjadi pangagum juga yang dikagumi oleh Diva, Gio satu-satunya pria yang dibolehkan Diva untuk mengecup bibirnya. Seorang pecinta alam yang sudah menjelajahi hampir seluruh permukaan bumi.
Cerita ini memang dapat dipandang sebagai cerita yang unik. Karena ada sisi-sisi yang masyarakat kita anggap masih tabu untuk dibicarakan malah diungkapkan dan diceritakan dengan cara yang unik pula oleh Dee. Mungkin karena itu pula Dee memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh penulis lain dimata para pakar karya satra. Karena para pakar memandang Supernova sebagai karya sastra yang layak untuk diperbincangkan dan tentunya dinikmati karena mengandung unsur sastra yang menarik untuk dibicarakan.
Selain Supernova saya juga telah membaca satu novel lain yang juga mengangkat sisi kehidupan masyarakat kita yang masih dianggap tabu. Novel itu berjudul The (Un)reality Show yang ditulis oleh Clara Ng dengan tebal 360 halaman yang terbit pada Maret 2005 pada cetakan pertama dengan panjang 20 cm dan lebar 13,5 cm yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama .
Sebuah novel yang bercerita tentang sebuah TV swasta yang ingin mengadakan sebuah format acara yang lain dari TV-TV swasta saingan mereka. Maka terlahirlah sebuah ide yang cukup orisinil, acara ini melibatkan empat wanita dan empat pria yang terpilih secara acak dan langsung dikirimi kontrak eksklusif yang isinya mereka harus tinggal dalam 1 rumah besar yang dipenuhi kamera di setiap sudutnya kecuali kamar tidur dan kamar mandi dan  terisolasi dalam 7 minggu. Disana mereka dijamin dengan fasilitas yang cukup memadai, pekerjaan mereka dijamin tetap tersedia atau akan dicarikan oleh Top TV (TPTV) jika masa 7 minggu itu berakhir, karena itu mereka tidak akan jadi pengangguran, digaji cukup besar, jika memiliki tanggungan akan ditanggung oleh TPTV selama mereka terisolasi dalam rumah tersebut.
Rumah itu memang megah dgn fasilitas cukup lengkap; ada taman, kolam renang, telefon, ruang tengah dengan tv, dapur dengan kulkas yang selalu penuh dengan bahan makanan laksana supermarket. Tapi sangat disayangkan dengan 8 kamar yang disediakan untuk kedelapan orang tersebut hanya dilengkapi dengan 2 kamar mandi utama.
Cerita pun bergulir, satu persatu para pemain atau pengisi acara yang dinamakan The (Un)reality Show ini berdatangan. Mereka ternyata memang orang-orang awam yang bangga melihat dirinya diliput kamera dan disiarkan langsung ke pelosok Indonesia 24 jam tanpa iklan, juga sekaligus merasa risih karena sedikit malu menghinggapi mereka.
Karakter tokoh dinovel ini digambarkan cukup menarik dengan adanya karakter-karakter unik yang muncul begitu saja yang jarang ditemukan di novel lain. Beragam karakter –dari empat lelaki dan empat perempuan- yang ada dalam satu rumah, memancing keingintahuan: apa yang bakal terjadi antara lelaki yang mengaku homoseksual (Feivel), perempuan yang diprediksi lesbian (Wendy), dara di bawah sepuluh tahun yang dengan lancar bicara soal orgasme (Azuza), perempuan peramal (Tara) , pria yang tampan setengah mati yang dipuja-puja wanita (Primus),  pria mesum pemarah (Jodi), mantan napi pendiam (Richard) dan wanita tionghoa lemah lembut (Meiying)  adalah delapan orang beruntung yang akan menjadi tokoh utama acara tersebut. Selain harus terisolasi (tidak dapat bertemu orang lain) mereka pun mendapatkan tantangan setiap minggunya yang juga dilengkapi dengan tugas mingguan yang harus dikerjakan berdua dengan pasangannya.
Ternyata setelah saya membaca kedua novel tersebut saya mendapati novel Supernova;Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh dan The (Un)reality Show  memiliki kesamaan dan juga perbedaan. Persamaan keduanya adalah sama-sama mengangkat karakter atau tokoh yang masih dipertentangkan keberadaannya di lingkungan masyarakat kita yaitu pasangan sejenis atau homo dan lesbian. Diceritakan pula kedua pasang homo di dua novel ini (Ruben dan Dhimas di Supernova;Feivel dan Enrico di The (Un)reality Show) begitu mesra dan saling cinta padahal dilihat dari sudut  pandang budaya kita dan juga dari agama itu adalah penentangan dari semua aturan yang ada bahkan negara kita tidak mengakui pasangan sejenis. Perbedaan kedua novel ini dapat dilihat dari segi penulisannya dan juga diksinya bahwa  pengarang The (Un)reality Show, Clara Ng menggulirkan ceritanya bak skrip-skenario sedangkan Dee menulis Supernova dengan cara yang mengacu pada penulisan novel pada umumnya. Pada pemilihan kata atau diksi, Supernova mnengungkapkan jalan ceritanya yang cukup rumit tapi betujuan itu dengan memadukan istilah sains yang penjelasannya cukup memakan tempat, dengan kata-kata para pujangga yang serasi dan memberikan variasi bagi para penikmat buku yang ingin mencoba gayapenulisan dan penceritaan baru dalam dunia Lingkar Pena di Indonesia. Sedangkan The (Un)reality Show  memadukan diksi yang sederhana dengan mimik dari cerita yang cukup menggelitik dan konyol yang membuat rasa penasaran disetiap kata diakhir setiap halamannya , sayangnya novel ini mengandung unsur SARA dan kekerasan yang membuat para penikmat novel di bawah umur harus berkecil hati bila ingin membacanya karena novel in di-rating Restricted (Terlarang)
Bila Supernova dibaca dapat menimbulkan sebuah tantangan untuk menikmati isi cerita dari awal hingga akhir yang diselipi bebagai istilah sains yang sulit namun puitis, The (Un)reality Show malah menyuguhkan cerita unik, asyik dan kocak yang mengena dikala kita mulai membacanya.
Supardi Djoko Damono mengomentari Supernova; Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh bahwa novel ini, terutama penyusunan dialog dan komposisinya merupakan perwujudan dari kebudayaan kita yang sekarang diguncang oleh tidak adanya makna yang bisa dijadikan pegangan. Sangat Menarik. Begitulah komentar dari seorang pakar dan sekaligus penikmat Supernova yang satu ini.
Namun disamping hal-hal yang telah saya uraikan menurut sudut pandang saya pribadi, novel ini juga memiliki kekurangan, mungkin karena bukunya yang cukup tebal para pembaca atau orang yang tertarik untuk membacanya jadi sedikit merasa enggan karena tidak memiliki banyak waktu.
Bila Supernova episode ini dibandingkan dengan novel-novel yang kini beredar, novel lain seakan-akan tidak mendapat tempat dimata para pakar karena menurut saya pribadi novel-novel yang kini ramai memang tidak mengandung unsur sastra yang cukup menarik bagi para pakar. Novel yang banyak mendominasi pasar sekarang ini adalah seri Teenlit atau semacam seri novel-novel yang bercerita tentang percintaan remaja yang bersifat santai dan menarik dimata pembaca remaja yang ingin disuguhkan dengan materi yang  santai dan mudah dicerna.





referensi : http://tintaungunews.wordpress.com/2010/09/25/resensi-novel-supernova-ksatria-puteri-dan-bintang-jatuh/


1 komentar: