Judul
: Supernova; Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh
Penulis
: Dewi “Dee” Lestari
Mangunsong
Penerbit
: Truedee Books
Terbit Tahun :
2001 pada Cetakan V
Tebal
Buku : 231 halaman
Panjang buku : 21
cm
Lebar
buku : 13,5 cm
Resensi
Buku
dengan tebal 231 halaman ini memang sangat menarik untuk dibaca oleh
orang yang menggemari sains, karena buku ini memang didominasi oleh bahasa
sains yang mudah dimengerti bagi penyuka sains. Tapi buku ini juga saya rasa
sangat menarik bagi orang yang awam terhadap sains yang ingin menikmati karya
sastra yang dinominasikan sebagai Indonesia’s Best Fiction Award 2000-2001
(Novel Fiksi Indonesia Terbaik 2000-2001) ini. Orang yang awam terhadap sains
juga bisa menikmati novel ini karena di setiap halaman yang dihiasi istilah
sains yang sulit, selalu dilengkapi oleh footnote (catatan kaki). Jadi
untuk para penikmat novel jangan takut untuk mulai membaca karya sastra sains
fiksi karena disitulah faktor menarik dan menantangnya.
Kendala yang
mungkin dirasakan oleh para pembaca awam sains adalah banyaknya
istilah-istilah sains yang sulit dimengerti dan yang memakan tempat karena
penjelasan dari footnote-nya yang cukup panjang tersebut. Namun novel
ini dinominasikan sebagai Novel Fiksi Indonesia Terbaik sebab memiliki keunikan
bukan hanya karena bisa memasukan unsur sains yang sangat kental tapi juga
dapat memadukan unsur keromantisan yang juga mewarnai novel ini dengan sangat
baik. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya beberapa puisi puitis yang dapat
disampaikan dengan apik melalui bahasa sains.
Penokohan
yang dilakukan Dewi “Dee” Lestari pun kuat untuk sebuah novel fiksi. Sifat dari
karakter-nya pun dapat terasa dengan jelas. Alur ceritanya pun tidak
berbelit-belit dan tidak berbasa-basi sehingga pembaca pun disuguhi cerita yang
jelas tujuan dan maksudnya.
Dikisahkan
oleh Dee (Pangglan akrab bagi Dewi Lestari) ada dua pria yang mengalami
penyimpangan perilaku seksual, mereka gay (homo) yang sudah menjalani kehidupan
menyimpang mereka selama 10 tahun, Dhimas dan Ruben namanya. Mereka mengikat
janji bahwa di tahun kesepuluh hubungan mereka. Mereka akan membuat roman sains
yang romantis sekaligus puitis . Dikisahkan, Ruben termasuk geng
anak beasiswa-orang-orang sinis, kuper-yang cuma cocok bersosialisasi dengan
buku. Sementara Dhimas termasuk geng anak orang kaya, kalangan mahasiswa
Indonesia berlebih harta .
Mereka
menulis bahwa ada seorang pria yang dapat dikatakan sempurna;tampan, mapan,
produktif, menarik, dan berjabatan tinggi. Tokoh tersebut bernama Ferre, dia
begitu menarik sehingga diidolakan oleh kaum hawa. Tersebutlah seorang
wartawati dari sebuah tabloid wanita bersuamikan Arwin mencoba mewawancarai
Ferre. Rana nama wanita itu, entah karena pribadi keduanya yang sama-sama
menarik keduanya pun saling tertarik dan menjalani hubungan terlarang antar
seorang lajang dan seorang wanita bersuami atau biasa disebut selingkuh. Arwin,
suami Rana, sama sekali tidak menaruh curiga pada sang istri, ia terlalu cinta
pada Rana. Wanita bersuami yang mengalami ketidakpuasan dalam berrumah tangga
ini pun mencoba mencari kepuasan lain dari Ferre dan diceritakan hubungan
mereka begitu mesra.
Suatu
waktu Rana dihadapkan pada kenyataan bahwa Ia harus memilih antara Ferre, pria
yang menjanjikan kepuasan namun tidak memberikan rasa aman saat bersamanya atau
Arwin, pria mapan yang membosankan namun dapat memberikan rasa aman saat
bersama Rana. Saat Rana merasa yakin akan Ferre, ternyata Arwin datang dengan
sebongkah harapan bahwa ia akan membahagiakan Rana kelak. Rana pun goyah dan
memutuskan hubungannya dengan Ferre .
Ferre yang
memang sedang dimabuk cinta Rana sedih setengah mati karena harapan yang sudah
Ia bangun malah dilanda badai yang tak Ia duga akan Rana datangkan, sempat ia
berfikir untuk bunuh diri. Namun seakan-akan ada seorang wanita, Diva, seorang
wanita yang akan menyelamatkan Ferre dari keputusasaannya tentang hidup.
Diva
dikatakan sebagai seorang wanita berwawasan sangat luas, cantik, kaya, mapan
dan berpikiran maju. Ia memang seorang pelacur kelas kakap yang hanya menerima
bayaran besar dalam bentuk dolar , dan tanpa seorang mucikari
oleh karena itu ia ingin dikenal sebagai seorang wiraswasta (enterpreuneur)
sejati. Pelanggannya pun hanya orang-orang berkantong tebal.
Diva
ternyata adalah tetangga seberang rumah Ferre, setiap malam sebelum mereka
tidur dari jendela masing-masing mereka mengucapkan selamat tidur dan sepercik
kekaguman terhadap pribadi masing-masing.
Ferre pun
berteman dekat dengan Diva dan berangsur-angsur pulih dari pengalaman pahitnya.
Tokoh lain yang juga mewarnai cerita ini adalah Supernova, seorang cyber
avatar (semacam penyelamat/pertapa yang hidup di dunia maya) yang
berpikiran luas terhadap dunia dan menjadi tempat curhat (curahan
hati) tokoh lain di novel ini. Selain Supernova pun ada seorang pria yang
menjadi pangagum juga yang dikagumi oleh Diva, Gio satu-satunya pria yang
dibolehkan Diva untuk mengecup bibirnya. Seorang pecinta alam yang sudah
menjelajahi hampir seluruh permukaan bumi.
Cerita ini
memang dapat dipandang sebagai cerita yang unik. Karena ada sisi-sisi yang
masyarakat kita anggap masih tabu untuk dibicarakan malah diungkapkan dan
diceritakan dengan cara yang unik pula oleh Dee. Mungkin karena itu pula Dee
memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh penulis lain dimata para pakar
karya satra. Karena para pakar memandang Supernova sebagai karya sastra yang
layak untuk diperbincangkan dan tentunya dinikmati karena mengandung unsur
sastra yang menarik untuk dibicarakan.
Selain
Supernova saya juga telah membaca satu novel lain yang juga mengangkat sisi
kehidupan masyarakat kita yang masih dianggap tabu. Novel itu berjudul The
(Un)reality Show yang ditulis oleh Clara Ng dengan tebal 360 halaman yang
terbit pada Maret 2005 pada cetakan pertama dengan panjang 20 cm dan lebar 13,5
cm yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama .
Sebuah
novel yang bercerita tentang sebuah TV swasta yang ingin mengadakan sebuah
format acara yang lain dari TV-TV swasta saingan mereka. Maka terlahirlah
sebuah ide yang cukup orisinil, acara ini melibatkan empat wanita dan empat
pria yang terpilih secara acak dan langsung dikirimi kontrak eksklusif yang
isinya mereka harus tinggal dalam 1 rumah besar yang dipenuhi kamera di setiap
sudutnya kecuali kamar tidur dan kamar mandi dan terisolasi dalam 7
minggu. Disana mereka dijamin dengan fasilitas yang cukup memadai, pekerjaan
mereka dijamin tetap tersedia atau akan dicarikan oleh Top TV (TPTV) jika masa
7 minggu itu berakhir, karena itu mereka tidak akan jadi pengangguran, digaji
cukup besar, jika memiliki tanggungan akan ditanggung oleh TPTV selama mereka
terisolasi dalam rumah tersebut.
Rumah itu
memang megah dgn fasilitas cukup lengkap; ada taman, kolam renang, telefon, ruang
tengah dengan tv, dapur dengan kulkas yang selalu penuh dengan bahan makanan
laksana supermarket. Tapi sangat disayangkan dengan 8 kamar yang disediakan
untuk kedelapan orang tersebut hanya dilengkapi dengan 2 kamar mandi utama.
Cerita pun
bergulir, satu persatu para pemain atau pengisi acara yang dinamakan The
(Un)reality Show ini berdatangan. Mereka ternyata memang orang-orang awam yang
bangga melihat dirinya diliput kamera dan disiarkan langsung ke pelosok
Indonesia 24 jam tanpa iklan, juga sekaligus merasa risih karena sedikit malu
menghinggapi mereka.
Karakter tokoh
dinovel ini digambarkan cukup menarik dengan adanya karakter-karakter unik yang
muncul begitu saja yang jarang ditemukan di novel lain. Beragam karakter –dari
empat lelaki dan empat perempuan- yang ada dalam satu rumah, memancing
keingintahuan: apa yang bakal terjadi antara lelaki yang mengaku homoseksual
(Feivel), perempuan yang diprediksi lesbian (Wendy), dara di bawah sepuluh
tahun yang dengan lancar bicara soal orgasme (Azuza), perempuan peramal (Tara)
, pria yang tampan setengah mati yang dipuja-puja wanita
(Primus), pria mesum pemarah (Jodi), mantan napi pendiam (Richard) dan
wanita tionghoa lemah lembut (Meiying) adalah delapan orang beruntung
yang akan menjadi tokoh utama acara tersebut. Selain harus terisolasi (tidak
dapat bertemu orang lain) mereka pun mendapatkan tantangan setiap minggunya
yang juga dilengkapi dengan tugas mingguan yang harus dikerjakan berdua dengan
pasangannya.
Ternyata
setelah saya membaca kedua novel tersebut saya mendapati novel
Supernova;Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh dan The (Un)reality Show
memiliki kesamaan dan juga perbedaan. Persamaan keduanya adalah sama-sama
mengangkat karakter atau tokoh yang masih dipertentangkan keberadaannya di
lingkungan masyarakat kita yaitu pasangan sejenis atau homo dan lesbian.
Diceritakan pula kedua pasang homo di dua novel ini (Ruben dan Dhimas di
Supernova;Feivel dan Enrico di The (Un)reality Show) begitu mesra dan saling
cinta padahal dilihat dari sudut pandang budaya kita dan juga dari agama
itu adalah penentangan dari semua aturan yang ada bahkan negara kita tidak
mengakui pasangan sejenis. Perbedaan kedua novel ini dapat dilihat dari segi
penulisannya dan juga diksinya bahwa pengarang The (Un)reality Show,
Clara Ng menggulirkan ceritanya bak skrip-skenario sedangkan Dee menulis
Supernova dengan cara yang mengacu pada penulisan novel pada umumnya. Pada
pemilihan kata atau diksi, Supernova mnengungkapkan jalan ceritanya yang cukup
rumit tapi betujuan itu dengan memadukan istilah sains yang penjelasannya cukup
memakan tempat, dengan kata-kata para pujangga yang serasi dan memberikan
variasi bagi para penikmat buku yang ingin mencoba gayapenulisan dan
penceritaan baru dalam dunia Lingkar Pena di Indonesia. Sedangkan The
(Un)reality Show memadukan diksi yang sederhana dengan mimik dari cerita
yang cukup menggelitik dan konyol yang membuat rasa penasaran disetiap kata
diakhir setiap halamannya , sayangnya novel ini mengandung unsur SARA dan
kekerasan yang membuat para penikmat novel di bawah umur harus berkecil hati
bila ingin membacanya karena novel in di-rating Restricted (Terlarang)
Bila
Supernova dibaca dapat menimbulkan sebuah tantangan untuk menikmati isi cerita
dari awal hingga akhir yang diselipi bebagai istilah sains yang sulit namun
puitis, The (Un)reality Show malah menyuguhkan cerita unik, asyik dan kocak
yang mengena dikala kita mulai membacanya.
Supardi
Djoko Damono mengomentari Supernova; Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh bahwa
novel ini, terutama penyusunan dialog dan komposisinya merupakan perwujudan
dari kebudayaan kita yang sekarang diguncang oleh tidak adanya makna yang bisa
dijadikan pegangan. Sangat Menarik. Begitulah komentar dari seorang pakar dan
sekaligus penikmat Supernova yang satu ini.
Namun
disamping hal-hal yang telah saya uraikan menurut sudut pandang saya pribadi,
novel ini juga memiliki kekurangan, mungkin karena bukunya yang cukup tebal
para pembaca atau orang yang tertarik untuk membacanya jadi sedikit merasa
enggan karena tidak memiliki banyak waktu.
Bila
Supernova episode ini dibandingkan dengan novel-novel yang kini beredar, novel
lain seakan-akan tidak mendapat tempat dimata para pakar karena menurut saya
pribadi novel-novel yang kini ramai memang tidak mengandung unsur sastra yang
cukup menarik bagi para pakar. Novel yang banyak mendominasi pasar sekarang ini
adalah seri Teenlit atau semacam seri novel-novel yang bercerita tentang
percintaan remaja yang bersifat santai dan menarik dimata pembaca remaja yang
ingin disuguhkan dengan materi yang santai dan mudah dicerna.
referensi : http://tintaungunews.wordpress.com/2010/09/25/resensi-novel-supernova-ksatria-puteri-dan-bintang-jatuh/